Total Tayangan Halaman

Senin, 12 Desember 2011


GEMPA BUMI: ANTARA PANDANGAN MISTIS DAN SAINS MODERN
Gempa bumi 27 Mei 2006 di Yogyakarta lalu ternyata, masih menyisakan berbagai pernyataan pengetahuan bagi masyarakat akan fenomena alam yang meluluhlantahkan kehidupan manusia itu. Tidak terbanyangkan gempa dengan kekuatan 6,2 SR tersebut menggakibatkan kerugian yang tdak sedikit. Dapat dipastikan sebagian besar masyarakat Yogyakarta tidak mengetahui gempa bumi akan terjadi. Minimnya informasi dan pengetahua dari pemerintah dan badan atau institusi yang berwenang  menyebabkan kurangnya perhatiian akan bahaya gempa bumi yang bisa terjadi setiap saat.
Namun ironinya, setelah gempa bumi masyarakat mulai memperoleh informasi mengenai peristiwa itu, baik dari tayangan televisi maupun  media yang lainnya. Secara obyektif sains, gempa bumi telah mengalami proses panjang penelahan ilmiah oleh para ahli kegempaan (seismologist). Selain para ahli kegempaan, masyarakat di daerah yang sering mengalami fluktuaktif proses alam, dengan bekal kltur tradisional dan religiussitasnya tentu mempunyai sudut pandang  subyektif yang berbeda dengan obyektif. Masyarakat kadangkala secara subyektif menginterpretasikan gempa bumi sebagai suatu bencana, hukuman Allah, atau sebaliknya rahmat, bahkan bercampur dengan mitos-mitosnya yang dimiliki mengenai ulah kosmos yang menakutkan.
Dalam budaya lokal Indonesia misalnya pengetahuan masyarakat mengenai gempa bumi sebagian bagian dari bencana alam seringkali bertolak dari pandangan bersifat mistis dan mitologis. Jelas pandangan subyektif mistis dan mitologis bisa jadi bercampur dengan pandangan sains modern. Tentu pengetahuan yang berbeda yang dalam konteks kultur tidak jarang saling bertentangan menarik dicermati, mengingat pandangan sains yang terlalu positivistik dan mekanik pada kenyataannya sering tidak memberikan pengetahuan final dan pasti pada masyarakat terhadap gempa bumi. Akibatnya pandangan sains seperti ini menimbulkan pertentangan dengan pengetahuan batin masyarakat yang terwujud dalam pandangan-pandangan mistis dan mitologi mengenai gejala-gejala alam. Dan ujungnya, hal tersebut akan mempengaruhi kebijaakan negara dan antisipasi masyarakat bagaimana sebaiknya menanggulangi bencana dengan kegiatan pemulihan dan rekontruksi. Menurut Irwan Abdullah, meskipun Indonesia, termasuk Jawa mempunyai banyak pengalaaman mengenai bencana alam, seperti letusan gunung karakataau (1883), dan letusan gunung Merapi. Namun sayang kejadian yang berdampak luar biasa tersebut tidak berhasil diubah menjadi pengalaman kolektif yang dipelajari sebagai pengetahuan kolektif. Bahkan pengalaman itu juga tidak berhasil menjadi dasar kebijakan antisipatif dan pemulihan dampak bencana. Padahal pengalaman pengetahuan kolektif yang bersifat kesejarahan ini penting dipelajari mengingat banyak peristiwa bencana alam yang terjadi di Indonesia secara tiba-tiba dan tanpa bisa di duga sebelumnya yang seringkali menelan korban nyawa dan harta benda yang tidak sedikit.

PRESPEKTIF SAINS FISIKA MODERN
Gempa bumi merupakan salah satu proses alam yang terjadi di bumi kita sejak berjuta-juta tahun yang lalu, berupa getaran atau goncangan tanah yang diawali oleh patahnya laapisan tanah atau batuan di dalam kulit bumi dan diikuti pelepasan energi secara mendadak. Seperti halnya proses matahari yang terbit dari ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat, peristiwa bulan mengelilingi bumi, dan proses bumi mengelilingi matahari, demikian juga proses gempa bumi.
Gempa bumi hadir mengiringi proses terbentuknya wajah bumi seperti saat ini . tidak hanya permukaan bumi yang mengelami perubahan, akan tetapi kondisi wajah permukaan bumi juga mengalami hal yang sama. Pada 1915, Alferd Wagener memperkenalkan sebuah hipotesa yang dapat menjelaskan keadaan proses berubahnya muka benua atau lempeng bumi. Hipotesa tersebut dikenal dengan nama “Apungan Benua” (continental drift).
Sekitar 225 juta tahun yang lalu, hanya ada satu bagian kerak bumi yang muncul diatas permukaan air laut. Dengan kata lain hanya ada  satu benua atau satu lempeng benua dimuka bumi. Lempeng atau bbenua itu ddisebut pangea. Selama berjuta-juta tahun kemudian , lempeng pangea itu terpecah dan saling menjauh menjadi beberapa lempeng. Seperti remukan kerupuk yang berada diatas bubur panas, apabila kita sedikit mengeduk bubur itu, maka kerupuk diatasnya pasti bergerak. Sedikit saja mantel bumi bergerak, maka bergerak juga lempeng benua diatasnya. Proses pergerakan itulah yang kemudian dapat memicu gempa.
Proses terjadinya gempa bumi tektonik
Struktur bumi          konveksi panas bumi         pergerakan lempeng bumi         energy yang besar         batas elatisitas batuan terlampaui (batuan tidak mampu menahan akumulasi energi) pelepasan energi       GEMPA       Penyebaran energy       perubahan muka tanah.
Di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya berada di dua lempeng aktif yaitu, Indo Australia dan Eurasia. Kedua lempeng tersebut membentang dari belahan barat Sumatera sampai dengan belahan selata Nusa Tenggara. Tumbukan kedua lempeng ini yang mengakibatkan gempa disepanjang daerah yang berdekatan dengan kedua lempeng terrsebut. Gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 secara makro dipicu oleh pergerakan lempeng Indo-Australia yang terus bergerak dengan kecepatan 7 cm per tahun. Beberapa versi analisis penyebab gempa secara khusus (micro) muncul setelah peristiwa gempa bumi, BMG dalam proses releasenya, menyebutkan bahwa gempa mempunyai kekuatan 5,9 SR pada pukul 05.54 WIB, pada koordinat 8,007º LS dan 110,286º BT atau pada jarak 25 km selatan Yogyakarta.
PRESPEKTIF MITOLOGI- RELIGIUS
Sementara dalam pandangan religuisitas masyarakat, peristiwa bencana alam seperti gempa bumi sering kali secara teologis disikapi dengan pandangan yang beragam. Oleh karena iu, dalam prespektif teologis akan banyak penafsiran atas kejadian alam tersebut. Penafsiran yang muncul antara lain bersifat mistik-mitologis hingga intelektf-ekologis. Bahkan secara teologis ada yang menyebut gempa bumi muncul karena kehendak Allah yang dikarenakan bangsa Indonesia telah terlalu banyak menanggung dosa. Kebalikan dari pendapat tersebut, gempa bumi dapat dimaknai bukan sebagai bencana tapi berkah, dan karunia. Ini berarti ada dua kutub pendapat yang bersifat teologis mengenai peristiwa tersebut.
Namun dalam masyarakat jawa, fenomena gempa bumi tidak hanya dipengaruhi oleh sains dan dasar teologi dalam kitab suci al- Qur’an, melainkan juga dipengaruhi oleh pandangan-pandangan religuisitas yang bersifat mitologis. Jadi fenomena gempa bumi dalam kearifan local jawa ternyata memiliki mitos-mitosnya tersendiri. Mitos itu sendiri dapat dimaknai sebagai pernyataan tentang suatu kebenaran yang lebih tinggi dan penting mengenai asal usul kejadian alam (kosmos) yang masih dimengerti sebagai pola dan fondasi dari kehidupan masyarakat yang masih primitive. Nnamun dalam konteks pengetahhuan possmodernisme yang mendekonstruksi keenaran mitologis juga dipakai sebagai struktur kebenaran particular epistemic, tiak hanya dalam masyarakat primitive tetapi juga non primitive.
Karrena itu mitoos menjadi penting karrena ia mencerminkan kearifan local sebuah konstruksi realitas yang sekalipun subyektif dan  particular tettapi disisi lain mengandung kebenarannya sendii sebagai kennyataan obyektif yang bermakna. Sebagai sebuah bentk reliuguisittas local, mitos memiliki fungsi bagaimana suatu keadaan menjadi sesuatu yang  lain; bagaimana dunia yang kosong menjadi berpenghuni; bagaimana situasi yang kacau  menjadi teratur dan stabil. Dalam konteks keberagaman, mitos menjadi bermakna bagi masyarakat bukan sematta-mata ia memuat kejadian-kejadian ajaib atau perstiwa-peristiwa alam, mealinkan memiliki fungsi eksisitensial bagi manusia.
Dalam mitos-mitos yang berkembang di jawa, gempa bumi seringkali disebut dengan lindu. Baagi orag jawa lindu merupakan suatu bencana yang datang secara tiba-tiba. Dalam primbon jawa lindu yang terjadi pada bulan Suro dan di waktu siang hari, maka dipercaya akaan muncul banyaak penyakit dan keprihatinan, dan jika terjadi pada maam harinya, maka harga-harga makanan menjadi mahal. Begitu pula, apabila gempa bumi terjadi pada bulan Rejeb dan di siang hari, dipastikan banyak binatang yang erkena penyakit, akan tetapi jika terjadi di malam hari, maka dipercaya di desa-desa akan banak orrang jahat dan berpindah tempat. Mitos-mitos tentang gempa bumi dalam primbon itu kemungkinan sempat mempengaruhi pandangn masyarakat Yogyakarta dimana saat musibah gempa terrjadi banyak isu-isu kejahatan bermunculan, termasuk maraknya aksi penjarahan.
Di Negara jepang yang telah memiliki tingkat kemajuan sains yang tinggi, terutama untuk mempelajari gempa bumi, teryata terdapat sebuah mtos yang unik, yaitu ikan lele yang di percaya olehsebagian penduduk jepang sebagai binatang pendeteksi gempa. Orang jepang mengetahui ikan lele menunjukan perilaku yang aneh. Ikan lele yang cenderung untuk hidup diperairan bagan bawah, tetapi bila akan terjadi gempa mereka akan naik kepermukaan air, keluar dari habitat mereka, dan mereka menggelepar-menggelepar. Menurut analisis ilmiah ikan lele hidupnya cenderung di bawah atau menempel ddegan subsstrat. Jadi dia sangat peka terhadap getarran-getaran ringan yang terjadi di bawah tanah.
PENUTUP
Gempa bumi dalam prespektif sains dan mitologi- religious kadangkala dipahami masyarakat secara terpisah, lebih-lebih ddengan kultur dan kultur pendidikan masyaraakat yang berbeda, sehingga kedua prespektif itu dipandang bertentangan karena atara yang satu bersifat ilmiah daan yang lainnya bersifat non ilmiah atau irrasional. Namun tidak jarang peristiwa ini dimaknai secara korelatiif. Ini terjadi karena prespektif religuisitas masyarrakat dalam bentuk kepercayaan-kepercayaan yang bersifat mitologis dan mistis seringkali dapat dirasionalisasikan scara fungsional dalam kacaata sosiologi interpretative, seperti menjadi pesan-pesan yang dapat dinalar menjadi pedoman moral dan etika di masyarakat dalam mmenghadapi kehidupan   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar